Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahku bernama Sadiman, ibuku Hariana. Aku memiliki dua adik: seorang perempuan bernama Nurul Nadia dan seorang laki-laki bernama Nico Revaldi.
Dalam tulisan ini aku ingin bercerita tentang aku dan ayahku—sebuah kisah nyata, tanpa tambahan bumbu penyedap. Hanya kisah sederhana yang pernah kualami, yang masih membekas hingga kini.
Aku dan adik-adikku terpaut usia cukup jauh. Dengan Nadia, selisihku sembilan tahun, sementara dengan Reval terpaut dua belas tahun. Jarak yang tidak bisa dibilang dekat. Karena sempat menjadi anak tunggal, aku pernah merasa begitu dekat dengan ayah. Kedekatan itu bukan hanya soal fisik, tapi juga emosional. Kami sering berbincang, bercanda, bahkan nyaris ke mana pun aku selalu diajaknya.
Ayah sering menuturkan kisah masa lalunya, memberi nasihat, atau sekadar mengobrol ringan yang menghadirkan rasa hangat antara orang tua dan anak. Jika ada kesempatan, aku ikut dia memancing atau sekadar berkumpul bersama teman-temannya. Saat itu, aku belum benar-benar memahami arti kebersamaan itu. Yang kutahu hanyalah kebahagiaan sederhana: bersama ayah adalah kesenangan, dan dalam pikiranku yang masih polos, aku percaya momen itu akan berlangsung selamanya.
Tahun 2012, adikku lahir. Nadia. Kelahirannya membawa kebahagiaan baru dalam keluarga kami. Bagiku, ia adalah jawaban dari doa-doa kecilku yang sejak lama mendambakan seorang adik. Nama itu—Nurul Nadia—lahir dari kesepakatan ayah, ibu, dan aku. Tak ada makna khusus di baliknya, hanya terdengar indah dan sederhana.
Namun seiring Nadia tumbuh, ada perubahan besar yang terjadi padaku. Sebelum ia lahir, aku terbiasa memanggil ayah dengan sebutan “Bapak.” Setelah Nadia mulai bisa berbicara, ia menyebut ayah dengan kata “Ayah.” Perlahan, aku pun ikut terbawa arus perubahan itu. Bayangkan, setelah sembilan tahun terbiasa dengan panggilan “Bapak,” aku harus beradaptasi menyebut “Ayah.” Butuh waktu tiga tahun untuk benar-benar terbiasa.
Perubahan itu juga menjadi awal dari jarak kecil yang pelan-pelan tumbuh. Setelah kehadiran Nadia, kedekatanku dengan ayah mulai berkurang. Bukan dalam hal kasih sayang—itu tidak pernah berkurang—melainkan dalam komunikasi. Awalnya kuanggap biasa, tapi seiring waktu, aku menyadari bahwa percakapan panjang di antara kami semakin jarang.
Lalu pada tahun 2015, lahirlah adik bungsuku, Nico Revaldi, saat aku berusia 12 tahun. Dengan bertambahnya anggota keluarga, kesibukan ayah kian bertambah. Di usia itu aku sudah merasakan adanya jarak. Aku yang dulu sering bercerita dengan ayah, perlahan mulai dingin. Sebagian orang mungkin mengira aku terabaikan karena hadirnya adik-adikku. Tapi kenyataannya tidak begitu. Aku sadar, itu karena tanggung jawab yang semakin berat sebagai kepala keluarga.
Ayah bukanlah orang yang lembut dalam kata-kata, tapi ia tak pernah kurang dalam tanggung jawab. Ia keras dalam sikap, keras kepala, tapi sekaligus pekerja keras. Ia bukanlah ayah yang kejam. Ia penyayang, hanya saja mengungkapkan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda.
Untuk menghidupi keluarga, ayah tak pernah memilih-milih pekerjaan. Salah satunya adalah pekerjaan mencari lipan atau kelabang, pekerjaan yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Bersama teman-teman sekampung, bahkan bisa dibilang se-kecamatan, ayah mencari lipan. Di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara, pekerjaan ini dikenal luas meski penuh risiko. Bahaya, sulit, namun menjadi penyelamat bagi banyak keluarga sederhana.
Selain itu, ayah juga bekerja sebagai kuli bangunan dan buruh tani di tanah orang. Prinsipnya jelas: jika pekerjaan itu halal dan mampu ia lakukan, maka ia akan menjalaninya.
Setelah tamat SMP dan melanjutkan ke SMA, pola komunikasiku dengan ayah tetap sama. Dalam sehari, kadang kami tak saling berbicara. Kalau pun ada, biasanya hanya percakapan singkat. Aku bertanya, “Yah, mamak di mana?” atau “Yah, ada nampak gunting nggak?” Sebaliknya, ayah pun berbicara padaku kalau butuh bantuan: membeli sesuatu, atau menemaninya melakukan pekerjaan.
Padahal, kami sering bersama: menonton televisi, mencari ikan, membangun kandang kambing. Tetapi di tengah kebersamaan itu, jarang sekali tercipta obrolan panjang. Yang ada hanyalah keheningan. Anehnya, meski jarang berbicara, aku merasa begitu dekat dengan ayah secara batin. Kedekatan yang sulit kuterangkan, tapi selalu membuatku yakin: ayah sangat menyayangiku.
Kini, di usiaku yang ke-22 tahun, saat aku merantau, hal itu masih berlangsung. Aku jarang berkomunikasi dengan ayah. Bahkan saat menelpon ibu atau adik-adik, aku sering merasa canggung bila harus berbicara langsung dengan ayah, dan begitu pula sebaliknya. Saat pulang kampung, aku hanya sebatas menyalami dan mencium tangannya. Padahal, jujur saja, aku ingin sekali memeluknya, sebagaimana aku memeluk ibu. Tapi ada sesuatu yang menahan, entah apa.
Jika ayah ingin menyampaikan nasihat, ia menyampaikannya lewat ibu. Ibu lalu berkata padaku, “Tadi ayah bilang jangan macam-macam di tanah rantau.” Atau banyak pesan lain yang selalu sampai padaku lewat perantara. Tak ada satu pun nasihatnya yang kudengar langsung di masa dewasaku ini.
Meski begitu, aku sering mendengar ayah berbicara tentangku saat aku pulang kampung. Tengah malam, ketika aku belum tidur, aku mendengar ayah dan ibu masih menonton televisi. Obrolan mereka kadang membuatku diam-diam tersenyum. Mereka membicarakanku dengan bangga, meski aku merasa belum meraih apa pun. Kadang juga kudengar penyesalan mereka—merasa bersalah karena belum bisa memberikan kehidupan yang lebih layak bagi anak-anaknya. Tapi bagiku, itu tidak benar.
Ayah dan ibu sudah memberikan segalanya. Kasih sayang, pelajaran hidup, teladan tentang kerja keras. Dari kesederhanaan itu, aku belajar banyak hal yang tak ternilai harganya.
Untuk ayahku, terima kasih telah menjadi sosok tangguh yang menjaga kami. Terima kasih telah berdiri sebagai kepala keluarga yang penuh tanggung jawab. Jujur, aku rindu berbincang seperti dulu, saat aku kecil. Kini, hanya tulisan ini yang bisa kucurahkan.
Aku tahu, ayah mungkin takkan pernah membaca tulisan ini. Ia bukan orang yang akrab dengan gadget. Maka bila suatu saat adik-adikku membaca, aku titip pesan: sampaikan pada ayah, bahwa aku menyayanginya.
Ayah, aku menyayangimu. Tetaplah bersamaku selama mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar