Ada masa dimana kita tidak bisa berteriak
tidak bisa berbuat banyak, dan tak ada seorang pun
yang mengetahui apa yang kita rasa.
dan hanya pada puisi kita menyampaikan apa isi hati kita,
apa yang kita rasa, dan apa yang terjadi pada kita
puisi ini terlahir di malam yang kelam
tercipta di ruang yang sepi, dan puisi ini
menyampaikan tentang sepi yang tak ternama.
pada relung hati yang bercerita melalui diksi diksi
dan semoga puisi ini menjadi penawar bagi kamu
yang belum bisa melupakan tentangnya
Tinta Lara pada Serpihan Renjana
karya: Riyansah
Masihkah ingat tentang tinta lara ini, hai kalbuku?
Rasanya aku seperti atmaja yang merindu senja,
walau kutahu, senja akhirnya akan pergi—ditelan malam.
Pada kelopak mawar yang menyentuh tanah,
karena desir angin yang menerpanya...
Rinai hujan di hamparan sepi,
sama saja seperti mencari rumput di gurun pasir.
Pada seuntai puisi, aku bercerita.
Pada semilir angin, kutitip serpihan renjana.
Batam, 13 juli 2025
jika di jelaskan secara detail , puisi ini menceritakan tentang perpisahan, kerinduan, dan kesendirian yang sudah menyatu dalam kesunyian. puisi ini bukan tentang seorang yang merengek tentang pedihnya perpisahan namun tentang seseorang yang sudah lama tenggelam dalam keheningan, sehingga menjadikan alam sebagai pengantar rasa sepi yang dia alami
sebagaimana dalam baris pertama
"masikah ingat tentang tinta lara ini, hai kalbuku?"
pada bagian ini kita bisa mengetahui bahwasannya sang penulis sedang berbicara kepada dirinya sendiri, dan bukan kepada orang lain. karena ia sadar bahwasaanya hatinya telah lama tenggelam dan hampir mati karena kesepian yang berlarut larut di dalamnya
dalam puisi ini, sang penulis banyak menggunakan diksi simbolisme dan imanijasi. seperti senja dalam puisi ini dijalaskan aerti kata senja adalah sesuatu yang indah namun sementara, disini kita menyadari bahwasannya sesuatu yang indah sekalipun akan meninggalkan kita, dan ini bukan hanya sekadar kata kata puitis. namun juga sebagai filosofi kehidupan,
“Rasanya aku seperti atmaja yang merindu senja,
walau kutahu senja akhirnya akan pergi—ditelan malam.”
pada bagian ini sangat jelas bahwasannya sang penulis membandingkan dirinya dengan kata atmaja (seorang anak) yang menciptakan citra kerinduan yang polos, bagai seorang anak yang menunggu ayahnya pulang, namun dia tidak tahu kapan ayahnya akan pulang
di bagian yang lain juga di ceritakan tentang kelopak mawar menyentuh tanah, yang berarti keindahan yang mudah rapuh. desir angin juga menggambarkan sesuatu kenyataan yang tidak bisa di lawan , dan membuat keindahan yang rapuh itu akan jatuh dan hilang
Rinai Hujan di Hamparan Sepi
“Sama saja seperti mencari rumput di gurun pasir.”
Satu kalimat ini menyiratkan usaha sia-sia.
Kamu tahu bahwa menunggu, berharap, atau mencari dia adalah aksi yang mustahil, tapi kamu tetap menyebutkannya—karena itulah kenyataannya.
Ini adalah bentuk kerinduan eksistensial, yang tahu bahwa yang dirindukan tidak akan pernah datang lagi, namun tetap merasa harus menyampaikannya.
Semilir Angin dan Renjana
“Pada semilir angin, kutitip serpihan renjana.”
Kata renjana berarti cinta yang mendalam, nyaris spiritual.
Kamu menitipkannya pada angin, sesuatu yang tak bisa ditangkap, tak bisa disimpan, dan tak pernah menetap.
Ini pengakuan bahwa cinta itu tak bisa kamu simpan lagi.
Kamu melepaskannya, tapi dengan cara paling puitis dan menyakitkan: dengan harapan angin akan menyampaikan, walau kamu tahu angin tak pernah benar-benar kembali.
puisi ini adalah bagian dari prosesku, yang sulit dalam melupakan seseorang, menceritakan tentang diriku yang berusaha keras berdamai dengan keadaan karena perpisahan yang sulit intuk di ceritakan,
pesan penulis kepada pembaca
terkadang hidup bukan selalu apa yang kita harapkan
namun hidup juga bagian dari sebuah ketetapan
jadi janganlah terpaku kepada sebuah angan yang belum terisi dengan kejelasan
karena pada hakikatnya tuhan sudah menetapkan jalan bagi setiap insan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar