Bukan Harapan
Karya: Riyansah
Di pertengahan ruang yang kumal,
Beribu harapan terpikulkan.
Hiruk-pikuk pikiran terbebankan,
Nadi mimpi terasa tak terkendalikan.
Tak tahu kapan semua berakhir,
Pupus, kelar sudah diriku.
Sementara waktu terus berlalu,
Dan aku masih termangu.
Haa... seorang anak sepertiku,
Tak pantas akan sebuah impian.
Langkah pun selalu di jalan terjal,
Tak pernah ada kemulusan.
Salahkah menjadi harapan?
Aku hanya ingin kebahagiaan.
Tirai hidup terbengkalai,
Tak ada cahaya tergapai.
Haa...
Aku bukan anak impian,
Bukan pula pantas jadi harapan.
Aku hanya pencundang... dan beban.
Batam, 6 juli 2025
Puisi ini lahir dari perasaan seorang anak yang tumbuh
dewasa dengan satu keinginan paling tulus: membahagiakan orang tuanya.
Meski tak pernah diminta atau dituntut apa pun secara langsung, ia tahu dalam
diam dirinyalah yang diam-diam menjadi harapan. Harapan yang digantungkan dalam
doa-doa malam, harapan yang disematkan pada setiap langkah kecil yang ia ambil.
Namun, tak semua harapan berjalan seindah bayangan. Dunia
tidak selalu ramah. Rasa gagal mulai menyusup dalam hati, dan bayangan tentang
menjadi "anak yang membanggakan" terasa makin jauh. Ia mulai
mempertanyakan dirinya sendiri apakah ia benar-benar pantas disebut harapan,
jika langkah langkahnya terus tersandung dan mimpinya tak kunjung bersinar?
"Bukan Harapan" bukan sekadar luapan
kesedihan. Ini adalah potret jiwa yang diam-diam lelah, namun tetap mencintai.
Anak itu tidak sedang menyerah,ia hanya sedang jujur bahwa menjadi harapan
adalah beban yang tak ringan, apalagi ketika hidup tak sepenuhnya berpihak.
Puisi ini mengajak kita merenung:
Bahwa di balik wajah-wajah tenang anak-anak kita, saudara kita, bahkan diri
kita sendiri,
kadang ada jiwa yang sedang bertahan untuk tidak mengecewakan,
meski ia sendiri merasa sudah runtuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar