Langit malam tampak biasa-biasa saja malam itu. Tak ada bintang jatuh, tak ada angin yang berbisik. Hanya Fijai, duduk sendiri di tepi tempat tidurnya, ditemani cahaya biru dari layar ponsel. Hari itu, 2 April 2021. Pandemi masih membuat dunia sepi. Jalanan sunyi, langit kosong, dan perasaan-perasaan tumbuh dalam diam.
Ia membuka Facebook seperti rutinitas bosan: scroll, lihat, lewati. Tapi malam itu ada sesuatu yang berbeda,sebuah nama muncul berulang kali. Azizah. Gadis itu menyukai semua story-nya hari itu. Bukan satu. Bukan dua. Tapi semua.
Ia terdiam sejenak, lalu tanpa alasan yang jelas, jempolnya mengetik sebuah titik:
"."
Satu karakter. Satu percobaan absurd. Sebuah keberanian kecil dari seorang Fijai yang bahkan tak tahu ingin bicara apa.
Dan hanya dalam hitungan detik, balasan datang:
“Iya, kenapa?”
Kepalanya panik, jarinya gugup. Ia membalas cepat:
“Maaf Kak, salah kirim.”
Dari situ semuanya dimulai. Dari sebuah kesalahan yang ternyata bukan kesalahan. Dari satu titik yang perlahan menjadi kalimat. Kalimat menjadi obrolan. Obrolan menjadi keterikatan. Dan keterikatan... menjadi rasa.
Beberapa waktu sebelumnya, Fijai pernah melihat Azizah secara langsung. Sebuah festival seni mempertemukan mereka tanpa benar-benar saling kenal. Ia tak menyangka bahwa gadis dengan wajah tenang itu kelak akan menjadi sosok yang paling sering hadir dalam notifikasinya, dan kemudian... dalam hatinya.
Mereka mulai bertukar nomor, lalu media sosial lainnya. Azizah memanggilnya "Kak Fijai", dengan nada manis yang membuat nama itu terdengar lebih hangat dari biasanya.
Dan Fijai... menyebutnya "Kak Nay". Entah kenapa. Panggilan itu muncul begitu saja, seperti perasaan yang tumbuh diam-diam, tanpa aba-aba.
Hari-hari berlalu. Dunia luar tetap sunyi karena pandemi, tapi dunia Fijai terasa penuh warna. Chat panjang, tawa ringan, video call hingga larut malam. Semua terasa begitu alami. Seolah tak perlu ada status untuk merasa dekat.
Tapi kenyataannya, sesuatu memang sedang tumbuh pelan-pelan, halus, seperti daun yang merekah setelah hujan.
Fijai jatuh hati.
Tapi ia juga jatuh dalam keraguan.
Ia belum pernah mencintai sebelumnya. Ia merasa tak cukup: wajah biasa, hidup sederhana, dan tidak ada hal istimewa yang bisa ditawarkan.
Azizah terlalu baik untuk seseorang sepertinya. Itu pikirnya.
Jadi ia memilih untuk diam. Mencintai dalam senyap. Menjaga perasaan seperti merawat bunga yang tak pernah disiram.
Suatu malam, sebuah pesan dari Kak Nay membuat dadanya sesak:
“Kak Fijai, kalau ada seseorang yang dekat denganku, gimana menurut kakak?”
Jantungnya berdetak tak karuan. Tapi jemarinya memilih kalimat yang sebaliknya:
“Ya baguslah. Kalau ada yang suka sama Kak Nay.”
Padahal hatinya menjerit:
"Akulah orang itu. Tapi aku terlalu takut untuk mengatakannya."
Tak lama kemudian, Kak Nay membalas:
“Kalau kakak suka sama seseorang, kejar dia. Jangan sampai dia jadi milik orang lain dan kakak menyesal nanti.”
Kalimat itu menusuk. Tidak kasar, tapi dalam. Seolah ia sedang berkata,
"Kejar aku, sebelum aku pergi."
Tapi lagi-lagi, Fijai memilih diam.
Ia pikir, jika Azizah benar-benar bahagia dengan orang lain, maka biarlah begitu.
Karena kadang mencintai juga berarti membiarkan pergi.
Malam minggu itu, langit lebih gelap dari biasanya. Fijai merindukan suara Kak Nay. Maka ia kirim pesan:
“Assalamualaikum, Kak Nay?”
Tak ada balasan. Ia kirim lagi. Ia telepon. Masih sunyi.
Jam demi jam berlalu, hingga akhirnya, pukul 11 malam, layar ponselnya menyala.
Sebuah pesan masuk. Panjang. Penuh jeda yang menyakitkan:
“Assalamualaikum, Kak Fijai. Maaf sudah mengabaikan chat kakak tadi. Tadi ada temanku yang datang ke rumah dan menyampaikan perasaannya padaku. Sekarang kami sudah jadian. Aku harap kakak mengerti posisiku sekarang. Aku ingin ini jadi komunikasi terakhir dari kita. Maaf kalau selama ini aku banyak salah. Wassalamualaikum.”
Fijai terdiam.
Yang selama ini ia takutkan... benar-benar terjadi.
Yang selama ini ingin ia ucapkan... kini tak lagi ada tempatnya.
Azizah pergi. Bukan dalam marah. Bukan dalam luka. Tapi dalam keputusan.
Dan Fijai hanya bisa duduk di antara kalimat-kalimat yang tak sempat ia kirimkan.
Ia kehilangan sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar dimilikinya.
Dan begitulah cinta kadang bekerja:
menumbuhkan rasa, tanpa memberi kesempatan untuk menuainya.
bersambung...